Rabu, 04 November 2015

TEMBONG AGUNG CIKAL BAKAL KARAJAAN SUMEDANG LARANG

________________________________________________________________________

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di Prov. Jawa Barat, Indonesia. Meski tersimpul nama “Sumedang” namun tidak berarti bahwa Sumedang Larang sama dengan atau serupa dengan Sumedang. Sumedang Larang adalah nama suatu kerajaan, sedangkan Sumedang adalah nama negara induk, suatu kabupatian inti kerajaan Sumedang Larang. Jadi,kerajaan Sumedang Larang mencakup Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Bandung, Parakan Muncang, dsb.

Pada abad ke-16 zaman jayanya kerajaan Pakuan Pajajaran,Sumedang Larang merupakan kerajaan daerah atau kerajaan bawahan. Kemudian anta 1575 menjadi kerajaan yang merdeka secara “de facto” karena kekuasaan kerajaan Pajajaran sudah tidak nampak lagi di Sumedang Larang.

Asal Mula Nama
Mulanya kerajaan ini merupakan padepokan Tembong Agung (Tembong = nampak; Agung = luhur) yang didirikan Sanghyang Resi Agung (Aria Bima Raksa) di kampung Muahara, Leuwihideung, Darmaraja. Di sinilah beliau mempersiapkan Adji Putih, puteranya untuk menjadi pemimpin yang tangguh.

Kehadiran padepokan Tembong Agung dapat mendorong terhadap perkembangan keagamaan dan kebudayaan,secara perlahan padepokan tersebut menjadi pusat penyebaran agama dan budaya Sunda. Dalam perkembangannya menjadi kerajaan Tembong Agung,didirikan oleh Prabu Guru Adji Putih pada saat purnama bulan Muharram, dengan menobatkan Adji Putih sebagai pemangku kerajaan Tembong Agung(pada abad ke-XII).

Beliau menikah dengan Dewi Nawang Wulan (keturunan kerajaan Galuh) dan dikaruniai 4 putera, yaitu: Bratakusumah, Sokawayana, Harisdarma dan Langlangbuana.
Ketika Bratakusumah disuruh ayahnya bertapa di gunung Nurmala selama 21 hari 21 malam,pada malam ke-21 beliau melihat segumpal sinar turun ke bumi,berputar-putar di atas gunung,menukik di sekitar pertapaan. Gumpalan sinar menyembur ke setiap arah hingga pertapaan terang benderang.

Bratakusumah berkata pada pengawalnya:”insun medangan larang tapa”(aku melihat cahaya terang benderang di petapaan).

Pada hari k-21, Bratakusumah dipanggil ayahnya dan pada saat terang bulan dinobatkan menjadi Pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelar Prabu Tadjimalela. Beliau mengganti nama kerajaan menjadi Sudang Larang (dari kata insun medangan larang tapa) yang akhirnya hingga kini pengucapannya menjadi Sumedang.

Pada acara haol para ulama/sesepuh Kaum, SMD tahun 2006, KH.Muhyiddin AQA MA berkata bahwa Sumedang berasal dari kata ”shomadan” (salah satu asmaul husna), artinya yang dibutuhkan (tempat meminta)

===========================================================


Cikal Bakal Kerajaan Sumedanglarang
1. Sanghyang Resi Agung (Aria Bima Raksa)
Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur).

Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun
Prabu Wertikendayun penguasa kerajaan Galuh Purwa mempersunting Ratu Candraresmi melahirkan tiga putra yang bernama:

1. Sempak waja, yang menjadi penguasa Saunggalah 
2. Jantaka, penguasa denuh
3. Mandiminyak yang menjadi penerus Galuh


Mandiminyak mempunyai kesempurnaan dibandingkan saudaranya Sempakwaja dan Jantaka yang lahir dalam keadaan cacat fisik, Mandimiyak pemuda yang Tampan rupawan, Cerdas,dan memiliki bakat kepemimpinan sehingga timbul kecemburuan saudara-saudaranya setelah mandiminyak menikah dengan putri cantik rupawan.

Untuk mengobati kecemburuan Sempakwaja dan Jantaka maka Prabu Wertikendayun menikahkan Sempakwaja dengan Pwah Rababu persembahan dari kerajaan Saunggalah dan setelah menikah sempakwaja bermukim di Galunggung dan melahirkan putra PURBASORA.
Sedangkan Jantaka dinikahkan dengan Dewi Sawitri, setelah menikah Jantaka serta Dewi Sawitri mengikuti Sempakwaja bermukim di Galunggung karena merasa tidak layak tinggal di istana pindah ke Denuh dan melahirkan BIMARAKSA alias Aki Balagantrang nama yang termashur ditatar sunda.

Prabu Mandiminyak lengser keprabon kemudian menobatkan BRATASENAWA (Sangsena) menjadi pemangku kerajaan Galuh, penobatan tersebut mendapat reaksi dari kalangan pengagung,karena Bratasenawa lahir tidak melalui perkawinan yang syah, tetapi hasil perselingkuhan Prabu Mandiminyak dengan Pwah Rababu istri Sempakwaja yang tidak lain kakak iparnya Prabu mandiminyak sendiri.

Arya Bimaraksa dan Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat limbangan dan sumedang bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh.
Sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapu sehingga selamat dari gempuran Pasukan Purbasora.

Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Arya Bimaraksa menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari dan hasil pernikahannya melahirkan :
1. Adji Putih 
2. Usoro 
3. Siti putih 
4. Sekar Kencana


Diawal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa, Sementara Bratasenawa mendapa bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga utara,Kemudian Candraresmi menobatkan Bratasenawa menjadi Pemangku kerajaan Kalinggautara kemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Raden Sanjaya, Kehadiran Sandjaya diKalingga utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sandjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Bratasenawa sebagai penguasa sah Galuh.

Dugaan tersebut menjadi kenyataan Istana Galuh diserang oleh pasukan Sandjaya didalam pertempuran Prabu Purbasora diusia tuanya gugur ditangan Sandjaya.
Sedangkan Patih Bimaraksa beserta keluarganya berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan sondjaya kehilangan Jejak Patih Bimaraksa.Patih Bimaraksa beserta keluarganya melakukan perjalanan yang sangat jauh kearah utara melintasi hutan lebat dan melintasi gunung penuh. Mandalasakti, Gunung SangkanJaya, Gunung Nurmala dan berakhir dikampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja. Disanalah Bimaraksa mendirikan Padepokan Tembong Agung sekaligus mendidik putranya Adji putih yang dipersiapkan sebagai Pemimpin yang tangguh.

Berdirinyanya kerajaan Tembong Agung Menarik Simpati para resi tatar sunda agar bisa mengatasi ambisi Prabu Sandjaya merebut dan menaklukan kerajaan-kerajaan berpengaruh ditatar sunda. Prabu Sandjaya berhasil menggabungkan kerajaan MedangJati, kerajaan Indraprahasta dan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat Patih Saunggalah (Kuningan) yaitu Wijayakusumah menjadi pemangku kerajaan Galuh. 

Sementara Sanjaya pergi ke arah timur (Bhumi Mataram) dan mendirikan kerajaan (Wangsa Sanjaya), Namun tidak berlangsung lama berkuasa kemudian Wijaya Kusumah digantikan oleh Prabu Permadikusumah.


Diawal kekuasanya memindahkan kerajaan/keraton Galuh ke daerah Bojong Galuh Karang Kamulyan (Ciamis) kemudian mengangkat patih Agung Arya Bimaraksa, dan mengangkat Tamperan Barmawijaya (putra Prabu Sandjaya) menjadi mentri muda kedudukanya sebagai Strategis Tempur/Perang.
Hubungan Prabu Permadikusumah dengan Patih Arya Bimaraksa bertambah dekat dan Harmonis setelah menikahkan Dewi Naganingrum keturunan Prabu Purbasora untuk mengikis persetruan saudara dimasa lalu.


Kehadiran Bimaraksa diistana Galuh punya peranan cukup besar dalam perkembangan kerajaan Galuh yang semakin besar besar pengaruh dan disegani kerajaan-kerajaan ditatar sunda. Karena Arya Bimaraksa sangatlah matang dibidang ketatanegaraan,keagamaan dan budaya sunda dan mendapat anugerah dengan sebutan Tribuana Tangtu Artinya: Tiga Perkara yang dapat menentukan baik dan buruk sebuah negara yaitu:
1. Rama = Sosok yang dituakan sebagai penasihat kerajaan
2. Resi = Sosok yang dipandang berwibawa dan menguasai ilmu hukum dan kepemimpinan, tugasnya mengawal dan mengarahkan jalanya pemerintahan.
3. Ratu = Pemimpin Pemerintahan


Namun Terjadi pergantian kekuasaan oleh Prabu Tamperan Barmawijaya (Arya Kebonan) putra Sanjaya. Pasukan sunda ingin menghilangkan sisa-sisa orang Galuh yang berpengaruh akibatnya terjadi pertempuran.

Ki Balagantrang (Arya Bimaraksa) berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Prabu Purbasora oleh Rakai Sanjaya kemudian tinggal di Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis).

Ki Balagantrang berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Keturunan Sanjaya. Sebagai patih kawakan dan cucu Prabu Wretikandayun, Balagantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Sang Manarah (Ciung Wanara) melalui tangan Manarah ini Ki Balagantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan (antara Ciung Wanara dan Tamperan Barmawijaya) putra Sanjaya.

Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke Galuh, putra Ki Balagantrang yaitu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di Sumedang dan menjadi kerajaan bawahan Galuh.
Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Manarah dan Ki Balagantrang/Aria Bimaraksa pesiun sebagai patih Galuh. Dan menjadi Resi Batara Agung.
Ki Balagantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih Dalam Kitab Waruga Jagat bahwa Prabu Guru Aji Putih merupakan putra dari Ratu Komara keturunan Baginda Syah, putra Nabi Nuh yang ke-10.

Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.

Prabu Guru Aji Putih dari hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusumah atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela .yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Prabu Resi Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Resi Demunawan merupakan putera dari Prabu Batara Sempakwaja. Serta penguasa Galuh (Hariang Banga dan Sang Manarah).

Prabu Aji Putih kemudian menyerahkan tahta kepada Prabu Tajimalela (Bratakusumah/Cakrabuana/Pancarbuana/Darmawisesa/Resi Tungtang Buana), setelah itu Prabu Aji Putih menjadi Resi di Bagala Asih Panyipuhan di Cipeueut, Prabu Guru Aji Putih menjadi maha guru Prabu Guru Aji Putih menganut ajaran Sunda Wiwitan/Agama Sunda (Sunda=Suci) yang mengakui Sang Pencipta itu tunggal. Agama Sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuna sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Dewarman bertahta di Salakanagara (130 – 168).

Agama Sunda/Sunda wiwitan menganut faham Monotheisme (Satu Tuhan) seperti digambarkan dalam Pantun Bogor : “Nya INYANA anu muhung di ayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana”. Dalam Sahadat Pajajaran bahwa inti ajaran Agama Sunda hampir mirip dengan Surat Al Ikhlas.
Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Pada hakekatnya ajaran Agama Sunda mengajarkan “Orang Sunda kudu Nyunda”.

Prabu Guru Haji Aji Putih menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam salah satunya Ilmu Kacipakuan, Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh (Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati/Nurani).

Ketika Prabu Aji Putih sedang berkotemplasi di Cipeueut beliau mendengarkan suara tanpa wujud yang menginformasikan, “suatu saat kearifan akan muncul dari pintu Mekah sampai ke Pulau Ujung, Orang berbondong-bondong mencari kearifan, namun mereka tidak tahu Arif seperti apa”. Prabu Aji Putih bersama istrinya mengikuti petunjuk dan pergi ke Tanah Suci Mekah dan bertemu dengan Sayidina Ali. Prabu Aji Putih kemudian berguru ilmu tarikat, syariat, hakikat, dan marifat lalu masuk Islam dan kemudian naik haji, beliau kemudian bergelar Haji Purwa Darmaraja, haji pertama di Darmaraja. Sebelum pulang Prabu Aji Putih disuruh membuat masjid dan tujuh tempat wudlu. Ketika Pulang ke Darmaraja beliau mendirikan Masjid di Gunung Masigit dan Tujuh tempat wudlu di tujuh muara sungai Cimanuk yang diberi nama Cikajayaan, Cikahuripan, Cilemahtamba, Cikawedukan, Cikatimbulan, Cimaraja, dan Cisundajaya.

Prabu Aji Putih setelah kembali ke Padepokan Cipeueut Bagala Asih Panyipuhan kemudian merubah namanya menjadi Kabuyutan Cipaku, Cipaku Pakuning Alam, mengajarkan Islam dari mulai Ilmu Tauhid atau Ilmu Cipaku yaitu mendekatkan diri dengan Tuhan atau disebut Marifat. Ilmu Marifat Cipaku dikenal dengan Ilmu Cipaku, “Sir budi cipta rasa, sir raga papan rasa, dzat marifat wujud kaula maring Alloh, maring malaikat, maring khodan karomah suci, maring isun sajerning urip, lailahailalloh muhamaddarosululloh”, dari sanalah para murid Prabu Aji Putih mulai mengenal Islam dan menyebutnya Agama Suci.

Prabu Guru Haji Aji Putih (Eyang Haji) dikenal juga dengan ilmu Haji Bathin, karena Abad ke-7 sangat sulit untuk pergi ke Tanah Suci Mekah dan juga apabila ada saudara, tetangga, atau di sekitar kampung terdapat yang masih sengsara sandang, pangan, dan papan maka tidak perlu pergi ke Tanah Suci naik Haji sepertinya dirinya tapi cukup Haji Bathin saja, untuk sementara diwakilkan oleh Eyang Haji, lebih penting menolong yang lebih membutuhkan dahulu. Hal tersebut tentu sejalan dengan Rukun Islam yang kita ketahui pertama adalah syahadat, kedua shalat, ketiga puasa, ke empat shodakoh, ke lima naik haji ke Baitulloh.
Zaman sekarang justru terbaik orang berbondong-bondong naik haji ke tempat Suci ingin bergelar Haji kadang tidak melirik saudara dan lingkungan disekelilingnya yang masih kesulitan dan kesusahan.

Sejalan dengan Rukun Islam tentang pentingnya Syahadat Eyang Haji pun Abad ke-7 sudah berfikir begitu pentingnya pemahaman tentang Syahadat agar menjadi Ikrar Raga dan Bathin bahwa kita manusia berserah diri kepada Alloh SWT Tuhan Semesta Alam.
Eyang Haji kemudian mengajarkan Ilmu Marifat Cipaku yaitu, “Sang kuncung batara wenang, sanika ku Alloh langit ngait jagat rapak, tarima badan kaula sirna adam, Hu Alloh, Hu Alloh, Hu Alloh, Hu Alloh, lailahaillalloh muhammaddarosululloh.”
Hartosna: 
"sang teh hiji, kuncung buuk dina embun-embunan ngacung ka luhur, batara hartina maha pinter, sari sanika tegesna pangersana, langit kawas dikaitkeun, jagat kawas diamparkeun, tumampa yen kaula hirup sanggeusna adam mulang ka alam langgeng. Alloh Maha Agung, teu aya deui nu wajib di sembah lintang ti Alloh, muhamad rosul Alloh. Artinya kita berserah diri dari ujung rambut yang paling atas sampai seluruh badan hanya kepada Alloh SWT yang wajib disembah.

Bagi Eyang Haji sesuai rukun Islam yang paling penting adalah Sahadatnya atau Ikrarnya untuk memahami diri manusia sebagai Mahluk Ciptaan Alloh SWT oleh karenanya beliau membuat Sahadat Darmaraja untuk para Raja yang ingin mengabdikan diri menjadi Raja (Darma = Bakti, dan Raja Pemimpin), “Nu nangtung tampa kurungan, teu hérang tampa karangan, nu ngadeg di sanghyang téja henteu aya di buana panca tengah, deg, deg, deg, deg, deg, pancakomara. Lailahailalloh muhammadurrosululloh.
Hartina :
"nu ngadeg taya wujudna, nu herang taya wadahna, nu ngadeg di alam lelemut teu aya di alam manusa, panceugkeun lama kawibawaan. Teu aya anu wajib disembah lintang Alloh, Muhamad utusan Alloh. Artinya adalah bahwa ketika menjadi Raja harus mengukuhkan kewibawaan dengan cara berserah diri kepada Alloh SWT. Eyang Haji mengajarkan Ilmu Marifat tersebut di Situs Cipeueut Aji Putih.

Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan Agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji. Prabu Guru Haji Aji Putih adalah orang jawa yang masuk islam dan berdakwah di wilayah bawahan kerajaan Sunda Galuh.

Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di Situs Astana Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Sanghyang Resi Agung (Arya Bimaraksa) dan Dewi Nawang Wulan istrinya.

===========================================================


Tembong Agung Dalam Babad Darmaraja
Dalam Babon Darmaraja yang datang pertama kali ke wilayah yang sekarang dinamai Darmaraja itu adalah kaum awam antara lain pemburu hewan dan pengembara. Mereka hidup disana kemudian datang juga golongna resi yang menyebarkan agama.
Salah satu yang datang ke tempat itu Sanghiyang Resi Agung dari Nagri Galuh dan membuat padepokan di Cipeueut (Desa Cipaku Darmaraja, red) pinggir Sungai Cimanuk. Kemudian datang juga Guru Aji Putih ke tempat yang kini bernama Leuwihideung. Saat itulah mulai berdiri kerajaan Tembong Agung.

Guru Aji Putih inilah yang menyebarkan agama Islam di Sumedang dan dia adalah orang pertama yang bergelar haji karena berangkat ke Mekah untuk memperdalam agama Islam. Nama Aji Putih pun berubah menjadi Guru Haji Aji Putih atau Haji Darmaraja. Makam Prabu guru Aji Putih itu kini berada di Pajaratan Landeuh Desa Cipaku.

Sumedanglarang sendiri muncul saat Tajimalela berkuasa di wilayah ini. Tajimalela saat itu berseru Insun Medal Madangan ketika selesai bertapa brata. Namun tak ada yang pasti apa arti kalimat itu. “Dari cerita-cerita di masyarakat maksudnya kula lahir di tempat ieu (madangan=tempat nyampurnakeun). Nama itu berubah melalui proses nasal (istilah basa) Sumedang Rarang dan menjadi Sumedang Larang,” kata Dharmawan yang lebih dikenal dengan nama Aki Wangsa yang juga pengarang buku Rucatan Budaya Bumi Sumedang.

Tajimela ini kemudian menyerahkan kekuasan kepada ketiga anaknya Sunan Ulun, Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung yang akan menjadi raja dengan menyebutkan siapa yang membelah dewegan (kelapa muda) dan ada airnya dialah yang nanti menjadi raja setelah mereka sebelumnya bertapa. “Ternyata yang membuka dewegan ada airnya itu Prabu Lembu Agung tetapi ia menolak menjadi raja karena sesuai tradisi yang menjadi raja yang tertua,” katanya dan terjadi perkelahian karena tidak mau menjadi raja itu.

Namun akhirnya Tajimalela dan ketiga anaknya bermusyawarah dan memutuskan Prabu Lembu Agung yang menjadi raja. “Dari Prabu Lembu Agung inilah keluar kata lisan Darma Ngarajaan (hanya sekedar menjadi simbol raja saja, red) yang akhirnya menjadi daerah Darmaraja,” katanya. Kini Makam Prabu Lembu Agung berada di Astana Gede Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja.

Sementara Tajimalela akhirnya bertapa ke Gunung Lingga hingga akhir hayatnya dan makamnya juga berada di puncak Gunung Lingga Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu. Kerajaan Sumedang Larang kian maju pesat dan akhirnya memintahkan keraton kerajaanya dari Leuwihideung ke Ciguling Pasanggrahan dan dilanjutkan ke Kutamaya.

===========================================================


Kutipan Tembong Agung Koran Pikiran Rakyat
Awalnya, yang pertama mendirikan kerajaan di daerah Sumedang yaitu Dewa Guru Haji Putih, sekitar 1479 Masehi. Ia merupakan saudara dari Prabu Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi I, keturunan raja-raja Galuh. Dengan nama Kerajaan Tembong Agung yang berpusat pemerintahan di Leuwihideung, Darmaraja, Prabu Dewa Guru Haji Putih memiliki putra bernama Prabu Tajimalela yang kemudian meneruskan ayahnya bertahta di Kerajaan Tembong Agung, tahun 1479-1492. Kerajaan Tembong Agung ini lah, sebagai cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang.

Ditinjau dari segi asal usul kata (etimologi), Sumedanglarang berarti 'Tanah luas bagus yang jarang bandingannya', rangkaian dari Su = bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya. Sedangkan nama kerajaan Sumedanglarang, berawal dari nama Sumedang yang berarti 'aku lahir untuk memberi penerangan'. Insun Medal = aku lahir, Insun Medangan = aku memberi penerangan yang saat itu diucapkan Prabu Tajimalela saat terjadi keajaiban alam, ketika langit menjadi terang benderang oleh cahaya melengkung menyerupai selendang (malela).

Konon, menurut legenda, Prabu Tajimalela yang bergelar Batara Tuntang Buana atau Resi Cakrabuana, saat itu memiliki tiga orang putra, masing-masing Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun. Berdasarkan naskah "Layang Darmaraja", untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada salah seorang putranya, Prabu Tajimalela mengadakan sebuah ujian untuk Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung, tapi kedua putranya itu ternyata tidak berkehendak menjadi raja.

Meski Prabu Gajah Agung menyarankan Prabu Lembu Agung yang menjadi raja, Prabu Lembu Agung malah menyerahkan agar adiknya yang menjadi raja. Akhirnya, Prabu Tajimalela memerintahkan kedua putranya itu menuju Gunung Sangkan Jaya dan menyuruh keduanya menunggui "sebilah pedang" dan sebuah "kelapa muda". Saat menjalankan amanat itu, Prabu Gajah Agung yang tak kuasa menahan dahaga, mengupas kelapa muda itu dan langsung meminumnya. Tindakan itu, sempat diketahui oleh ayahnya, Prabu Tajimalela sehingga memutuskan Prabu Gajah Agung yang menjadi raja di Sumedanglarang, dengan syarat harus mencari ibukota sendiri.

Atas titah ayahnya, Prabu Gajah Agung (Atmadibrata), selanjutnya memindahkan lokasi ibukota dari Leuwihideung, Darmaraja ke Ciguling, Pasanggrahan, Sumedang Selatan. Karena itu, ia disebut juga Prabu Pagulingan. Ia dikenal memiliki keris yang sangat ampuh dengan nama Ki Dukun. Pusaka Keris ini, sampai sekarang masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun. Namun, Prabu Gajah Agung yang memerintah antara 1492-1502, akhirnya wafat dan dimakamkan di Cicanting Darmaraja. Dua putranya, terdiri Ratu Isteri Rajamantri yang dipersunting Prabu Siliwangi Ratu Dewata (cucu Prabu Siliwangi I) dan Sunan Guling (Mertalaya) yang meneruskan menjadi raja Sumedanglarang (1502-1515).

Sementara itu, Prabu Lembu Agung meneruskan menjadi raja di Tembong Agung. Namun, tidak berlangsung lama. Ia disebut Prabu Peteng Aji dan seperti halnya Putra ketiga Prabu Tajimalela, Sunan Geusan Ulun memilih menjadi seorang petapa/resi. Ia kemudian menurunkan keturunan yang tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes. Sunan Guling, kemudian digantikan putranya, Sunan Tuakan (Tirta Kusuma) dan setelah wafat digantikan putrinya bernama Nyi Mas Ratu Dituakan yang menikah dengan Sunan Corenda, cucu Prabu Siliwangi Ratu Dewata.

"Urang Sumedang tong poho "Ka-sumedangan-na" cag ah...braya" 


1 komentar: